Saturday, January 23, 2010

PEMANFAATAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG SEBAGA WISATA


P E N D A H U L U A N
(Indri Shelovita Manembu)

Indonesia memiliki hamparan terumbu karang terluas kedua di dunia setelah Australia, yaitu mencakup areal sekitar 50.000 km2 (Supriharyono, 2000). Beberapa laporan sebelumnya menyebutkan sekitar 75.000 km2 (Cesar, 1998; Johannes dan Riepen, 1995), ada juga yang menyebutkan luas tersebut sekitar 42.000 km2 berdasarkan estimasi nilai total terkecil. Keanekaragaman terumbu karang Indonesia merupakan yang terkaya di dunia (Edinger et al., 1998; Chou, 2000); sehingga menempatkannya sebagai pusat keanekaragaman terumbu karang global (Cesar, 1998; Supriharyono, 2000).
Terumbu karang merupakan jenis ekosistem yang sangat penting di perairan pantai daerah tropis karena ekosistem ini mempunyai produktivitas primer yang sangat tinggi. Besarnya produktivitas primer di daerah terumbu karang dapat mencapai 10 kg C/m2/tahun, sedangkan di perairan lepas pantai hanya berkisar antara 50 – 100 g C/m2/tahun (Supriharyono, 2000). Secara umum produktivitas primer kotor di perairan karang berkisar antara 2000 – 5000 gr C/m2/tahun. Tingginya produktivitas primer di daerah tersebut, menyebabkan produktivitas perikanannya menjadi tinggi pula, sehingga perairan karang merupakan daerah penangkapan ikan yang produktif. Steven dan Marshal (1974) yang diacu dalam Salm et al. (2000), melaporkan bahwa standing crop populasi ikan di daerah karang, dapat mencapai 5 – 15 kali ukuran crops dari fishing ground yang produktif di Altantik Utara. Oleh karena itu, perairan karang biasanya menjadi sasaran utama aktivitas perikanan dari sebagian besar masyarakat pesisir, yang hidupnya hanya bergantung pada sumberdaya terumbu karang tersebut.
Terumbu karang mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, di antaranya adalah sebagai sumber bahan pangan, obat-obatan dan bahan baku industri, serta tempat rekreasi dan pendidikan. Disamping itu, dari segi ekologi, terumbu karang berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan abrasi pantai; serta sebagai tempat pemijahan, pembesaran dan mencari makan dari sebagian besar ikan ekonomis penting.
Sayangnya, aktivitas pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir dewasa ini, telah memberikan beragam dampak negatif yang cukup nyata terhadap keberadaan dan kualitas sumberdaya terumbu karang di Indonesia. Beberapa laporan yang senada menyebutkan bahwa sumberdaya terumbu karang telah mengalami degradasi yang sangat serius (Cesar, 1998; Chou 2000).
Kondisi terumbu karang Indonesia yang dapat dikategorikan baik sampai dengan sangat baik saat ini, diperkirakan hanya tinggal sekitar 29% (Cesar, 1998; Chou, 2000). Bahkan laporan JICA Study Team (2002) menyebutkan bahwa kondisi terumbu karang pada beberapa tempat di Sulawesi Utara yang diklasifikasikan baik sampai dengan sangat baik hanya tinggal 2%. Terdapat indikasi kuat bahwa kerusakan terumbu karang Indonesia sedang terus berlanjut karena tekanan berbagai aktivitas manusia.
Kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh berbagai faktor fisika, kimia dan biologis; namun secara umum, kerusakan terumbu karang dapat dibedakan menjadi kerusakan karena kejadian alam dan kerusakan karena aktivitas manusia atau antropogenik (Salm et al., 2000). Cesar (1998) mengemukakan bahwa terdapat lima aktivitas manusia yang merupakan ancaman utama terhadap kerusakan terumbu karang di Indonesia, yaitu: penggunaan racun (cyanide fishing), penggunaan bom (blast fishing), penambangan karang (coral mining), sedimentasi dan polusi, serta kelebihan eksploitasi (over fishing).
Dampak kerusakan ekosistem terumbu karang terhadap produksi perikanan telah banyak dilaporkan; di antaranya, bahwa terdapat korelasi positif antara kelimpahan ikan karang, dengan tutupan karang hidup di Kepulauan Seribu. Hasil tangkapan alat destruktif ilegal seperti muro-ami di daerah tersebut terus menurun drastis, dan bahkan blast fishing sekalipun nampaknya tidak menguntungkan lagi secara ekonomis. Kerusakan terumbu karang telah mengakibatkan penurunan jumlah spesies ikan yang berasosiasi dengannya, disertai dengan penurunan daya tarik pariwisata dan hilangnya suatu ekosistem yang sangat berharga (Clark, 1992).
Terumbu buatan atau artificial reefs merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan dan perusakan terumbu karang alami, yaitu melalui penciptaan daerah penangkapan ikan baru yang produktif. Dengan demikian, terumbu karang alami yang telah mengalami degradasi diharapkan secara berangsur-angsur akan dapat pulih kembali. Terumbu buatan telah digunakan dalam berbagai tujuan (Rilov dan Benayahu, 2002), tetapi sebagian besar untuk meningkatkan potensi fishing ground (Bohnsack et al., 1991;), sementara manfaat lainnya adalah sebagai komoditi wisata bahari.
Terumbu buatan adalah suatu struktur bangunan buatan manusia atau alami yang ditempatkan di dasar perairan menyerupai terumbu karang alami, berfungsi sebagai habitat tempat berlindung, mencari makan dan berkembang biak dari berbagai biota laut termasuk ikan; yang kemudian diharapkan dapat menjadi daerah penangkapan ikan yang produktif. Berbagai laporan menyebutkan bahwa terumbu buatan dapat meningkatkan produksi perikanan dan pendapatan nelayan (Montemayor, 1991; Sinanuwong, 1991; Hung, 1991). Biomasa di terumbu buatan umumnya tujuh kali lebih besar dari pada biomasa di habitat alami. Pickering et al. (1998) melaporkan bahwa terdapat sejumlah fakta empiris tentang pengaruh biologis pada terumbu buatan, dan beberapa di antaranya mendukung hipotesis bahwa terumbu buatan dalam kondisi spesifik mampu meningkatkan produksi.
Jepang merupakan negara yang paling maju dalam hal terumbu buatan; dan Nakamae (1991), menyimpulkan bahwa terumbu buatan memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan ikan yang relatif sama dengan daerah penangkapan ikan di terumbu karang alami. Selanjutnya disebutkan bahwa dari segi biologi, terumbu buatan telah menjadi daerah pemijahan ikan dan pembesaran juvenile, serta menunjang peningkatan kelimpahan makanan (sea farming dan marine ranching). Dari segi sosial ekonomi, telah dilaporkan tentang penghematan bahan bakar dan peningkatan kualitas kesegaran ikan karena daerah penangkapan ikan yang lebih dekat dari pangkalan, serta peningkatan kesadaran di antara nelayan tentang pengelolaan daerah penangkapan ikan.
Terumbu buatan di Indonesia semakin banyak mendapat perhatian, tetapi aksi pengelolaan masih dilaksanakan secara insidentil dalam skala kecil dan terbatas pada instansi-instansi tertentu secara parsial. Pengembangannya belum direncanakan dan dianggarkan secara nasional, seperti Malaysia, Thailand, Philippine dan India. Pemerintah Indonesia belum melangkah ke dalam aktivitas pengembangan artificial reefs seperti negara-negara tetangga, tetapi lebih ke arah rehabilitasi terumbu karang yang telah rusak dengan cara transplantasi, yang dianggap sebagai suatu pendekatan yang relatif murah untuk perbaikan habitat dan peningkatan sumberdaya perikanan. Wasilun dan Murniyati (1997) melaporkan bahwa transplantasi karang hingga saat ini belum dikembangkan, karena walaupun telah dilakukan penelitian-penelitian, tetapi aplikasi secara ekonomis belum banyak diterapkan.
Pengembangan terumbu buatan di Indonesia masih jauh ketinggalan, baik dari negara-negara dalam kawasan Asean maupun dari negara-negara berkembang lainnya di daerah tropis. Jika dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang misalnya, proyek artificial reefs adalah setara dengan proyek-proyek pekerjaan umum nasional (public works), yang perencanaan jangka panjang dan pembiayaannya diputuskan dalam sidang kabinet, yang kemudian dievaluasi dan direvisi pada setiap jangka waktu 6 tahun (Nakamae, 1991). Jadi proyek tersebut telah ditetapkan di bawah perencanaan ekonomi nasional secara komprehensif.