Monday, March 31, 2014

KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH PULAU-PULAU KECIL



Prospek pengembangan pulau-pulau kecil mempunyai peluang yang sangat baik, karena pembangunan di kawasan ini pasti akan menggunakan keunggulan sumberdaya domestik sebagai basisnya, berakar pada masyarakat dan budaya lokal yang ada, sumberdaya yang dapat diperbaharui, mempunyai peluang pasar lokal dan internasional, responsif terhadap aplikasi teknologi. Tercatat sekitar 17.500 pulau, baik berukuran besar, kecil,maupun sangat kecil (Dahuri, 2004). Namun keberadaan pulau-pulau kecil tersebut masih belum mendapat perhatian.  Terdapat ratusan pulau-pulau kecil yang selama ini kurang mendapat perhatian, belum bernama dan tidak mendapat sentuhan pembangunan, sehingga belum berkembang dan dimanfaatkan secara optimal. Kondisi tersebut memerlukan penanganan dengan serius, terencana, sistematis dan terpadu berdasarkan kebijakan yang tepat dari berbagai sektor terkait.
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah munculnya berbagai pertanyaan yang sangat mendasar, yakni layakkah pulau-pulau kecil untuk dikembangkan?. Memang dalam upaya membangun dan mengembangkan pulau-pulau kecil di Indonesia dibutuhkan suatu pendekatan pemikiran yang agak sedikit meloncat. Pendekatan dan pemikiran yang terjadi saat ini dinilai tidak akan mampu untuk menjawab  ke arah perkembangan pulau-pulau kecil tersebut.
Jika hanya berdasarkan atas kekuatan faktor internal saja, kiranya   tidak ada daya untuk dapat menjawab tantangan yang dihadapi. Akan tetapi dengan bantuan derivative factor eksternal kiranya dapat diperoleh peluang-peluang pengembangan di masa yang akan datang. Dalam kaitan  ini, pemahaman terhadap peluang-peluang pasar menjadi sangat penting dalam menentukan produk barang atau jasa yang seyogyanya harus dihasilkan oleh pulau-pulau kecil tersebut.
Pengembangan Wilayah adalah upaya pembangunan pada suatu wilayah atau daerah, guna tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan memanfatkan sumber-sumber daya (alam, manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana) secara optimal dan berkelanjutan dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi (trade, industri dan pertanian), perlindungan lingkungan, penyediaan fasilitas-fasilitas pelayanan dan penyediaan prasarana (transportasi dan telekomunikasi) (Anwar, 2002).
Upaya pengembangan wilayah tersebut dapat terwujud apabila komponen-komponen pembangunan dapat ditingkatkan, yaitu :
  1. Meningkatkan kemampuan masyarakat yang didukung oleh kemudahan mendapatkan informasi, teknologi, keahlian dan kelembagaan yang memadai.
  2. Terjadinya proses produksi yang efisien yang didukung oleh sistem transport, investasi dan teknologi yang memadai sehingga terciptanya pasar dan nilai tambah.
  3. Terkendalinya kualitas lingkungan.
  4. Iklim kondusif dengan tertatanya sistem kelembagaan sosial ekonomi seperti swadaya masyarakat, bank, koperasi dan lainnya
  5. Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan

NERACA KARBON PENENTUAN TERUMBU KARANG SEBAGAI SINK ATAU SOURCES CO2



Terumbu karang dikenal sebagai salah satu dari ekosistem yang memiliki prosuktivitas primer (1.800–4.200 gr C/m2/tahun) tertinggi di kawasan pesisir. Kemampuan terumbu karang ini menjadi harapan dalam upaya untuk mereduksi emisi gas karbon dioksida (CO2), salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Harapan ini didasarkan atas keberadaan simbion di terumbu karang berupa zooxanthellae yang mampu melakukan proses fotosintesis sebagi proses pemanfaatan CO2 untuk menghasilkan O2. Namun yang perlu diketahui pula bahwasanya karang (coral) merupakan hewan. Coral atau disebut juga karang tentunya bukanlah benda mati yang bertumbuh. Coral, salah satu dari 25 ordo dalam kingdom hewan masuk pada filum Coelenterata yang bersifat heterotoph (penghasil CO2). Untuk menilai kondisi tersebut pendekatan dengan menggunakan analisis neraca karbon global diperlukan dalam memberikan penjelasan apakah kolam atau reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau lubuk (sink) karbon dioksida.

Terumbu karang sebagai sink. Coral reef tersusun dari CaCO3.xH2O (mineral aragonite), terbentuk dalam waktu dan proses yang sangat lama (puluhan-ratusan tahun). Proses fotosistesis (CO2 + H2O → CH2O + O2 artinya pengikatan CO2) pada coral reef sebetulnya terjadi pada simbion. Zooxanthellae berfotosintesis (tumbuhan) secara langsung dalam jaringan hidup coral mendapat keuntungan dari nutrient yang disediakan hewan coral. Sebaliknya hewan coral diuntungkan dari karbohidrat yang dihasilkan. Coral yang memiliki zooxanthellae tumbuh dan mensekresi calcium carbonate (aragonite pada scleractinian coral) Coral juga menimbun carbon, pada natural state menghasilkan padatan kapur yang disekresi. Kemampuan. dalam menimbun calsium carbonate merupakan representasi dari fungsi terumbu karang sebagai sink karbon dioksida. Selanjutnya, jika kita bandingkan konsentrasi karbon yang ada diperairan dengan konsentrasi karbon yang terkandung pada karang itu sendiri (bukan di perairan) yaitu dalam bentuk kalsium karbonat, maka dari sisi ini, menyebut karang sebagai (sink) penyerap, penyimpan, penimbun bahkan pengubur karbon sebagai sumber global warming tidak bisa dibantah lagi. Sebab, pada kenyataannya konsentrasi karbon yang ada di karang adalah 30000 kali lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi karbon yang ada di atmosfir.(Pahlano, 2008)

Terumbu karang sebagai source. Dilakukan dengan melakukan pengukuran konsentrasi karbon yang ada di perairan karang dan membandingkannya dengan konsentrasi karbon yang ada di atmosfir. Menemukan bahwa konsentrasi karbon di perairan lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi karbon di atmosfir, dan membawa pada kesimpulan bahwa perairan karang bersifat sebagai sumber pelepas karbon ke atmosfir. Pengukuran dilakukan di kolom air karena yang diukur adalah konsentrasi CO2 bukan padatan CaCO3 (kalsium karbonat) yang merupakan produk hasil kalsifikasi (Kleypas, 1999). Kalsifikasi: Ca2+ + 2HCO−3 → CaCO3 + H2O + CO2 (artinya pelepasan CO2). Hasil tersebut dipertegas melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh suatu lembaga kelautan Jepang (sekitar Agustus 2005) di lepas pantai Barat Sumatra menunjukkan nilai perbedaan tekanan parsial CO2 antara laut dan udara pada kisaran +16 sampai + 27 atm. Nilai positif menunjukkan bahwa perairan ini bersifat sebagai carbon source. (Koropitan, 2003).

Perhitungan (source-sink) karbon (terlarut-gas bukan padatan) pada ekosistem terumbu secara umum jika dihubungkan dengan peningkatan emisi CO2 menjelaskan bahwa rata-rata terumbu karang bersifat sebagai source. Namun source CO2 terumbu coral dimungkinkan diimbangi sink-penyerapan/pengikatan CO2 di hamparan lamun (seagrass) serta mangrove, 3 ekosistem yang berdekatan dan saling terikat. Walaupun belum dapat disimpulkan secara jelas peranan perairan pesisir dalam siklus karbon global, status source dan sink suatu perairan adalah alami dalam suatu siklus. Kenyataan bahwa suatu lokasi adalah source akan diimbangi oleh sink pada lokasi lainnya. Keseimbangan dalam sistem.

Referensi :
Kleypas, JA. 1999. Konsekuensi Geokimia dari Peningkatan Atmosfera Karbondioksida pada Terumbu Karang, Sains Daily, 284, 118 120
Pahlanos, 2008. Coral Reef in Crisis. www. Pahlanos Under Water. blog.com
Koropitan, AF.2003. Penyerapan Karbon di Lautan Indonesia. www. Sinar Harapan.com