Wednesday, January 27, 2010

Systematic regional planning for multiple objective natural resource management


 
Abstract
On-ground natural resource management actions such as revegetation and remnant vegetation management can simultaneously affect multiple objectives including land, water and biodiversity resources. Hence, planning for the sustainable management of natural resources requires consideration of these multiple objectives. However, planning the location of management actions in the landscape often treats these objectives individually to reduce the process and spatial complexity inherent in human-modified and natural landscapes. This can be inefficient and potentially counterproductive given the linkages and trade-offs involved. We develop and apply a systematic regional planning approach to identify geographic priorities for on-ground natural resource management actions that most cost-effectively meet multiple natural resource management objectives. Our systematic regional planning approach utilises integer programming within a structured multi-criteria decision analysis framework. Intelligent siting can capitalise on the multiple benefits of on-ground actions and achieve natural resource management objectives more efficiently. The focus of this study is the human-modified landscape of the River Murray, South Australia. However, the methodology and analyses presented here can be adapted to other regions requiring more efficient and integrated planning for the management of natural resources.
Crown Copyright @ 2007 Published by Elsevier Ltd. All rights reserved.
Keywords: Decision theory; Multi-criteria decision analysis; Environmental policy and economics; Geographic information systems; Integrated planning

Ethnobiology, socio-economics and management of mangrove forests: A review


 
There is growing research interest in the ethnobiology, socio-economics and management of mangrove forests. Coastal residents who use mangroves and their resources may have considerable botanical and ecological knowledgeable about these forests. A wide variety of forest products are harvested in mangroves, especially wood for fuel and construction, tannins and medicines. Although there are exceptions,mangrove forest products are typically harvested in a small-scale and selective manner, with harvesting efforts and impacts concentrated in stands that are closer to settlements and easiest to access (by land or by sea). Mangroves support diverse, local fisheries, and also provide critical nursery habitat and marine productivity which support wider commercial fisheries. These forests also provide valuable ecosystem services that benefit coastal communities, including coastal land stabilization and storm protection. The overlapping of marine and terrestrial resources in mangroves creates tenure ambiguities that complicate management and may induce conflict between competing interests. Mangroves have been cut and cleared extensively to make way for brackish water aquaculture and infrastructure development. More attention is now given to managing remaining forests sustainably and to restoring those degraded from past use. Recent advances in remotely sensed, geo-spatial monitoring provide opportunities for researchers and planners to better understand and improve the management of these unique forested wetlands.
@2008 Elsevier B.V.

Integrating knowledge to assess coastal vulnerability to sea-level rise: The development of the DIVA tool


 
This paper describes the development of the DIVA tool, a user-friendly tool for assessing coastal vulnerability from subnational to global levels. The development involved the two major challenges of integrating knowledge in the form of data, scenarios and models from various natural, social and engineering science disciplines and making this integrated knowledge accessible to a broad community of end-users. These challenges were addressed by (i) creating and applying the DIVA method, an iterative, modular method for developing integrating models amongst distributed partners and (ii) making the data, scenarios and integrated model, equipped with a powerful graphical user interface, directly and freely available to end-users.
@2009 Elsevier Ltd. All rights reserved

STUDY ON ASSESSING ECONOMIC VULNERABILITY OF SMALL ISLAND REGIONS (Adrianto & Matshuda)


Abstract
Tujuan utama  kajian ini adalah untuk menilai vulnerability ekonomi pembangunan wilayah pulau-pulau kecil sebagai bagian dalam mempertahankan keberlanjutannya. Dengan mengkombinasikan data time series ekonomi dan lingkungan, digunakan untuk menyusun indek composite vulnerability ekonomi yang dibangun dari tiga variabel exogenous, yaitu eksposure ekonomi, ekonomi akibat sifat remote, dan ekonomi akibat dampak dari lingkungan dan kerusakan alam. Kepulauan Pulau Amami, Kagoshima, Jepang dijadikan studi kasus pada paper ini.
Hasil yang didapat mengindikasikan bahwa dengan berbasiskan indeks valuasi terhadap gross produk pulau kecil, Pulau Kikaijima merupakan pulau yang paling vulnerability (rentan) di Kepulauan Amami, melalui nilai CEVI  (composite economic vulnerability index)  sebesar 0.678, selanjutnya Pulau Okinoerabujima juga dapat dipertimbangkan sebagai pulau yang paling vulnerability dengan  nilai CEVI  sebesar 0.680.  Berdasarkan hasil ini dapat diungkap bahwasanya pulau-pulau terkecil relatif memiliki vulnerability lebih tinggi dibandingkan dengan pulau yang lebih besar, dimana juga mengkonfirmasikan tingkat vulnerability negara  pada penelitian sebelumnya.
Namun,  meski faktanya pulau kecil relatif memiliki vulnerability tinggi, juga memiliki tingkat perekonomian bagus yang ditunjukkan  melalui pendapatan per kapita. Dalam hal ini, kondisi  tersebut sangat memungkinkan terjadi mengingat keberhasilan pulau kecil dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi vulnerability yang melekat sebagai indikator keberlanjutan.  Mengenai temuan ini, juga telah dilakukan pengujian dengan membandingkan hasil vulnerability dan konsep awal dari resiliensi sebuah pulau untuk mengungkap  prespective lain penilaian terhadap keberlanjutan di wilayah pulau kecil
Kata kunciKepulauan Amami, composite economic vulnerability index, exposure ekonomi,  penilaian ekonomi terhadap kerusakan alam, dampak exogenous, resiliensi

Tuesday, January 26, 2010

PRESERVATION OF GENETIC DIVERSITY IN RESTOCKING OF THE SEA CUCUMBER HOLOTHURIA SCRABA INVESTIGATED BY ALLOZYME ELECTROPHORESIS



Ketika upaya pelepasan Holothuria scabra dilakukan dengan menggunakan jenis yang berbeda, terpikir untuk mengetahui pengaruhnya pada komunitas yang ada. Di New Caledonia, keragaman genetik populasi dari H. scabra di wilayah yang sama (berdasarkan tinjauan allozyme oleh electrophoresis dari 258 individu) menunjukkan keberadaan penting gene flow antara sembilan situs, ditambah dengan nilai-nilai ST M tidak berbeda secara signifikan. Namun, tes menunjukkan bahwa pada jenis tertentu di dua lokasi di bagian selatan, yang mengalami sedikit pertukaran air, menununjukkan perbedaan yang signifikan dengan tiga jenis lainnya di pantai barat. Dimasukkannya spesimen H. scabra yang berasal dari Bali (n = 90) dan Knocker Bay, Australia (n = 47), dibandingkan dengan data yang ada di Pasifik Barat (Torres, Kepulauan Solomon, Upstraits Bay, dan Hervey Bay) menunjukkan bahwa kondisi populasi yang sangat berbeda melalui pengujian menggunakan tes spesifik dan sampel yang dipisahkan rapi dalam sebuah analisis UPGMA, jenis klaster (metode pengelompokan asosiasi media UPGMA). Nilai-nilai dari jarak antara Rogers populasi genetika secara signifikan berkorelasi dengan jarak geografis, yang menunjukkan isolasi oleh jarak. Selaras dengan peningkatan jarak genetik pada beberapa ratus kilometer mendukung pandangan bahwa distribusi spasial dari setiap pemindahan harus dipertimbangkan berdasarkan dari apa yang kita tahu tentang perubahan frekuensi alleles dalam kawasan target.

ADAPTASI BIOTA ZONA INTERTIDAL




1.1    Latar belakang
Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Kawasan pesisir memilki sejumlah fungsi ekologis berupa penghasil sumberdaya, penyedia jasa kenyamanan, penydia kebutuhan pokok hidup dan penerima limbah (Bengen, 2002).  Tata ruang sebagai wujud struktural ruang dan pola penggunaannya secara terencana atau tidak dari bagian permukaan bumi di laut dan pesisir, dikenal selama ini sebagai objek dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia.  Selain mengandung beraneka ragam sumber daya alam dan jasa lingkungan yang telah dan sementara dimanfaatkan manusia, ruang laut dan pesisir menampilkan berbagai isu menyangkut keterbatasan dan konflik dalam pemanfaatannya.  Untuk mengharapkan keberlanjutan fumgsi dimensi ekologis yang dimiliki oleh kawasan pesisir,  selayaknya digiatkan upaya pelestarian dan pemanfaatan segenap sumberdaya yang ada di dalamnya secara berkelanjutan.
Ekosistem pesisir dan lautan merupakan sistim akuatik yang terbesar diplanet bumi. Ukuran dan kerumitannya menyulitkan kita untuk dapat membicarakannya secara utuh sebagai suatu kesatuan. Akibatnya dirasa lebih mudah jika membaginya menjadi sub-bagian yang dapat dikelola, selanjutnya masing-masing dapat dibicarakan berdasarkan prisip-prinsip ekologi yang menentukkan kemampuan adaptasi organisme dari suatu komunitas. Tidak ada suatu cara pembagian laut yang telah diajukan yang dapat diterima secara universal. Cara pembagiannya telah banyak dipakai oleh para ilmuwan dan pakar kelautan diseluruh dunia.
Salah satu bagian dari pembagian ekosistem di kawasan pesisir dan laut adalah kawasan intertidal (intertidal zone). Wilayah pesisir atau coastal adalah salah satu sistim lingkungan yang ada, dimana zona intertidal atau lebih dikenal dengan zona pasang surut adalah merupakan daerah yang terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, merupakan pinggiran yang sempit sekali – hanya beberapa meter luasnya – terletak di antara air tinggi (high water) dan air rendah (low water). Zona ini merupakan bagian laut yang paling dikenal dan paling dekat dengan kegiatan kita apalagi dalam melakukan berbagai macam aktivitas, hanya di daerah inilah penelitian dapat langsung kita laksanakan secara langsung selama perioda air surut, tanpa memerlukan peralatan khusus.
Letak zona intertidal yang dekat dengan berbagai macam aktifitas manusia, dan mmeiliki lingkungan dengan dinamika yang tinggi menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap gangguan. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap segenap kehidupan di dalamnya.  Pengaruh tersebut salah satunya dapat berupa cara beradaptasi. Adaptasi ini diperlukan untuk mempertahankan hidup pada lingkungan di zona intertidal. Keberhasilan beradaptasi akan menentukan keberlangsungan organisme di zona intertidal.

1.2     Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Menganalisa ekologi zona intertidal beserta biota yang ada di dalamnya
2.      Menganalisa bentuk adaptasi biota yang ada di zona intertidal
3.      Merumuskan bentuk pengelolaan pada zona intertidal

1.3     Manfaat
a.      Pemahaman akan kondisi lingkungan dan karakter biota yang ada di zona intertidal dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya pengelolaan zona intertidal.

INTERPRETATIF STRUKTURAL MODELLING PENGEMBANGAN WILAYAH PULAU KECIL (Agus Romadhon)


Karakteristik Indonesia sebagai Negara Kepulauan maka pendekatan kebijakan kelautan menjadi sangat penting untuk memayungi kebijakan pembangunan yang berwawasan laut termasuk di dalamnya melindungi wilayah NKRI terhadap berbagai ancaman, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Lemahnya visi laut dalam pemerintahan sudah seharusnya diperbaiki, sehingga diharapkan kelautan menjadi mainstream pembangunan nasional Indonesia yang didukung oleh perbaikan visi pembangunan daratan sebagai sebuah kesatuan. Dalam kebijakan kelautan yang di dalamnya termasuk pengelolaan pulau-pulau kecil maka diperlukan komitmen dan perhatian yang tinggi dari pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat kepulauan, mengingat berbagai keterbatasan yang dihadapi, baik secara lokasi, infrastruktur ekonomi dan sosial maupun berbagai aspek lainnya.
Kebijakan yang akan ditetapkan untuk menangani pulau-pulau kecil merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dan lebih dari itu, program pemberdayaan pulau-pulau kecil yang mengarah pada penyewaan pulau harus diubah menjadi pengelolaan dan pengembangan, yang tentu saja dalam hal ini melibatkan unsur-unsur pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang bekerja sama dengan masyarakat lokal dan investor yang berwawasan lingkungan. Kolaborasi dari unsur-unsur ini lebih dikenal dengan model co-management.
Mengacu pada issue-issue di atas, kebijakan dan strategi pengembangan pulau kecil yang sedang dan akan dikembangkan harus diintegrasikan dengan langkah-langkah pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil dan pusat-pusat pertumbuhan dimaksud. Pulau-pulau kecil menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ruang yang ada, oleh karenanya perencanaan strategis yang dilakukan tidak hanya mencakup ruang yang terdapat di daratan yang luas saja (main-land), namun juga daratan yang berada di daerah perairan/lautan dalam bentuk pulau-pulau kecil (islands).
Salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan strategis adalah Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretatif Structural Modelling - ISM). Menurut Eriyatno (1998), ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif.
Menurut Saxena (1992) ISM bersangkut paut dengan interpretasi dari suatu obyek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara sistematis dan iteratif. ISM juga menganalisis eleman-elemen sistem dan memecahkanya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, faktor-faktor penilaian dan lainnya. Hubungan langsung dapat dalam konteks-konteks yang beragam (berkaitan dengan hubungan kontekstual).
Sistem Pengembangan Pulau Kecil dapat diuraikan atas 5 elemen yang terdiri dari (1) Elemen Pelaku, (2) Elemen Kebutuhan, (3) Elemen Tujuan, (4) Elemen Kendala, (5) Elemen Tolok Ukur, dan (6) Elemen  Perubahan Masing-masing elemen sistem pengembangan ini terdiri dari sejumlah sub-elemen, meliputi:
1.      Elemen Pelaku (masyarakat yang terpengaruh)
Kebutuhan pelaku dalam pengembangan pulau-pulau kecil dapat diartikan sebagai aktor-aktor yang terlibat dalam upaya mengembangkan pulau kecil  di Kabupaten  Sumenep -  Madura.  Sub elemen pelaku tersebut adalah:
        Kelompok nelayan 
        Pengusaha Industri perikanan
        Tokoh masyarakat 
        Pemerintah daerah
        Wisatawan dalam negeri 
        Wisatawan luar negeri
        Lembaga keuangan dan Bank 
        Investor pariwisata bahari
        Pemerintah pusat 
        Perguruan tinggi


2.      Elemen Tujuan Program
Sejumlah sub elemen dari elemen tujuan adalah sebagai berikut:
a.      Mewujudkan pengembangan wisata
b.      Meningkatkan produsktivitas perikanan tangkap
c.       Meningkatkan kualitas hidup masyarakat kepulauan
d.      Meningkatkan pelayanan jasa lingkungan di pulau kecil
e.       Mewujudkan pemanfaatan SD yang berkelanjutan
f.        Memperluas lapangan kerja
g.      Meningkatkan diversifikasi produk perikanan tangkap
h.      Meningkatkan kegiatan perekonomian daerah kepulauan
i.         Meningkatkan minat investor kepariwisataan
j.         Melakukan pengembangan teknolgi
Meningkatkan pendapatan daerah

ANALYTIC HIERARCHY PROCESS DALAM PENGEMBANGAN PULAU-PULAU KECIL (Agus Romadhon)


Persepsi stakeholders terhadap optimasi pengembangan wilayah pulau–pulau kecil menggunakan metode AHP (Analytic Hierarchy Process). Metode AHP ini, menilai persepsi stakeholdes berdasarkan hasil kuisioner untuk tiap responden.  Hasil kuisioner akan menunjukkan pilihan responden terhadap alternatif  yang ada. Responden akan dapat memberikan nilai pada pilihan yang ditentukan  dibandingkan terhadap pilihan lainnya.. Nilai–nilai hasil pebandingan sesuai dengan skala nilai yang ditetapkan oleh Saaty, yaitu nilai antara 1-9. Perlu diperhatikan dalam membandingkan tingkat kepentingan prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya, harus berada pada tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbangan tertentu.
Pada hasil analisis ini terdapat lima bagian, terdiri atas tujuan dan tiga level. Ketiga  level tersebut terdiri atas kriteria (level 1), sub kriteria(level 2), dan alternatif (level 3). Untuk mendapatkan solusi yang diinginkan, perlu diketahui faktor–faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan. Pada level kriteria terdapat tiga kriteria yang menjadi bahan pertimbangan dalam optimasi pengembangan wilayah pulau pulau kecil, yaitu :
Tabel 1  Level aspek dalam  optimasi pengembangan wilayah pulau–pulau kecil

No
Level
Kriteria
Sub Kriteria
Alternatif
1
Ekonomi
Produktivitas pemanfaatan sumberdaya
Perikanan
2
Lingkungan
Peningkatan lapangan kerja
Pertanian
3
Sosial
Upaya konservasi
Sarana Pendidikan
4

Pelestarian budaya
Pariwisata
5


Sarana prasarana tramsportasi


       Level Kriteria
1.      Kriteria Ekonomi
Setiap pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan umumnya akan melihat aspek ekonomi sebagai penilaian pertama, sehingga dalam optimasi pengembangan wilayah pulau–pulau kecil akan menentukan dan mempengaruhi keputusan yang diambil.



2.   Kriteria  Lingkungan.
Optimalisasi pengembangan wilayah pada pulau kecil dengan memperhatikan aspek lingkungan sebagai syarat keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya di pulau kecil
3.   Kriteria  Sosial
Aspek sosial perlu juga dipertimbangkan sebagai dasar penetapan suatu kebijakan serta sebagai upaya menampung aspirasi masyarakat lokal dan mempertahankan kealamiahan kawasan pulau kecil.

       Level Sub Kriteria
1.      Produktivitas pemanfaatan sumberdaya
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya melalui kegiatan perikanan, pertanian, pariwisata dan lainnya diharapkan akan memberikan nilai tambah dengan menumbuhkan sektor informal yang menunjang sektor utama, seperti jasa, transportasi perdagangan dan lainnya.
2.      Peningkatan lapangan kerja
Peningkatan lapangan kerja dapat dilakukan melalui sejumlah kegiatan yang ada seperti perikanan, pertanian, pembangunan pemukiman, sarana pendidikan, industri, pariwisata dan sarana/prasarana transportasi
3.      Upaya konservasi
Upaya konservasi dilakukan untuk dapat mempertahnkan mutu lingkungan dan menjaga keseimbangan lingkungan terhadap sejumlah dampak kegiatan  perikanan, pertanian, pembangunan pemukiman, sarana pendidikan, industri, pariwisata dan sarana/prasarana transportasi
4.      Pelestarian budaya
Pelestarian budaya mutlak harus dilakukan agar nilai–nilai luhur yang ada sebagai identitas wilayah tidak hilang. Optimalisasi pengembangan wilayah pada dasarnya upaya untuk mengiptimalkan melalui pemberdayaan segenap sumberdaya dan potensi yang ada, termasuk di dalamnya budaya lokal.

Secara lengkap level dalam optimasi pengembangan wilayah pulau–pulau kecil terlihat pada gambar 1  berikut

MODEL PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS SISTEM EKOLOGI EKONOMI (Agus Romadhon)



Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan merupakan satu-satunya opsi yang harus dilakukan untuk mempertahankan status keberadaan sumberdaya di kepulauan sebagai salah satu sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dan lautan. Semakin meningkatnya kesadaran dan pengetahuan tentang arti penting sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dan lautan sebagai alternatif sumberdaya menambah tekanan terhadap sumberdaya pesisir. Akibatnya, banyak terjadi kerusakan sumberdaya yang diakibatkan oleh tingkat pemanfaatan berlebihan (over eksploitasi) seperti pada sumberdaya perikanan tangkap, terumbu karang, rumput laut, mangrove, lamun dan lainnya.
Peningkatan tekanan terhadap sumberdaya pesisir dan lautan terjadi pula di Kepulauan Kangean. Sebagai wilayah kepulauan terbesar di Jawa Timur, Kepulauan Kangean memiliki keragaman sumberdaya yang tinggi dan terdapat sejumlah kegiatan pemanfaatan berupa budidaya perikanan, budidaya mutiara, perikanan tangkap, tambak dan pertambangan minyak. Kegiatan-kegiatan pemanfaatan tersebut akan berpotensi menyebakan kerusakan degradasi sumberdaya dan lingkungan jika dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung dan tingkat eksploitasi yang lestari. Jika hal tersebut dilakukan secara terus-menerus akan menyebabkan  sumberdaya di wilayah Kepulauan Kangean terancam keberlanjutannya.
Untuk mengeliminasi ancaman degradasi sumberdaya di wilayah Kepulauan Kangean, perlu suatu rencana penyusunan keputusan atau kebijakan dalam pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Klasifikasi term/bilangan, data, informasi, alternatif keputusan, keputusan dan aksi yang dibutuhkan antara lain adalah :

Sunday, January 24, 2010

Colonizing Landscapes : Human Apropriation of Net Primary Production and its Influence of Standing Crop and Biomass Turnover in Austria



ABSTRACT
Human land use significantly influences important properties of terrestrial ecosystems,
e.g. energy flow, standing crop and biomass turnover. The socio-economic interference
with ecological energy flows may be studied empirically by calculating the „human appropriation
of net primary production“ (in short: „NPP appropriation“) resulting from two
processes: The change in average primary productivity of ecosystems caused by land use
and the harvest of biomass from ecosystems. NPP appropriation is defined as difference
between the NPP of the potential vegetation and the proportion of the actual NPP
remaining in ecosystems after harvest. Land use also influences the amount of biomass
and carbon stored in live vegetation. Changes in land use can thus lead to significant net
carbon flows between the vegetation and the atmosphere. By comparing the standing crop
of the potential vegetation and the actually prevailing vegetation we demonstrate the
human impact on standing crop and the amount of carbon stored in live vegetation. By
relating standing crop and NPP we estimate the impact of land use on biomass turnover.
We discuss these concepts using empirical results for the aboveground vegetation in
Austria calculated from statistical data and from land use and land cover models derived
from remote sensing data. According to our calculations the human appropriation of aboveground
NPP in Austria amounts to 51% today and has gradually declined to this value
from 53% in 1950. The standing crop of the actually prevailing vegetation is about 64%
lower than that of the potential vegetation. Biomass turnover has been accelerated by a
factor of 2.4.
Key words: Land use and cover change, net primary production, standing crop, carbon
flows, remote sensing, human impact on ecosystems.

Social Metabolism and Labour in a Local Context: Changing Environmental Relations on Trinket Island1 Simron Jit Singh Clemens M. Gru¨nbu¨ hel Heinz Schandl Niels Schulz Institute for Interdisciplinary Studies of Austrian Universities (IFF)


From a material and energetic perspective, this paper outlines the patterns of society-
nature interactions of a local horticultural, hunter-and-gatherer population that
lives on a remote island between India and Indonesia. Based on empirical research,
we present several indicators to show an economic portfolio of a local society that
combines horticulture, hunting and gathering activities with elements of industrialisation
and market economy. In describing these environmental relations, the study
narrows its focus to the use of three socio-ecological concepts, namely socio-economic
metabolism, colonising natural processes, and the energetic return on investment.
Using these concepts, we show the dynamics of social and environmental
transformation at a local level and the consequences this may have for sustainability.
KEY WORDS: society-nature interactions; society’s metabolism; colonising nature; Material
Flow Accounting; Energy Flow Accounting; energetic return on investment; labour and time
budget analysis; human appropriation of net primary production; local sustainability; transition
studies.

NERACA KARBON PENENTUAN TERUMBU KARANG SEBAGAI SINK ATAU SOURCES CO2 ( Agus Romadhon)



Terumbu karang dikenal sebagai salah satu dari ekosistem yang memiliki prosuktivitas primer (1.800–4.200 gr C/m2/tahun) tertinggi di kawasan pesisir. Kemampuan terumbu karang ini menjadi harapan dalam upaya untuk mereduksi emisi gas karbon dioksida (CO2),  salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Harapan ini didasarkan atas keberadaan simbion di terumbu karang berupa zooxanthellae yang mampu melakukan proses fotosintesis sebagi proses pemanfaatan CO2 untuk menghasilkan O2. Namun yang perlu diketahui pula bahwasanya karang (coral) merupakan hewan. Coral atau disebut juga karang tentunya bukanlah benda mati yang bertumbuh. Coral, salah satu dari 25 ordo dalam kingdom hewan masuk pada filum Coelenterata yang bersifat heterotoph (penghasil CO2). Untuk menilai kondisi tersebut pendekatan dengan menggunakan analisis neraca karbon global diperlukan dalam memberikan penjelasan apakah kolam atau reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau lubuk (sink) karbon dioksida
Terumbu karang sebagai sink. Coral reef tersusun dari CaCO3.xH2O (mineral aragonite), terbentuk dalam waktu dan proses yang sangat lama (puluhan-ratusan tahun). Proses fotosistesis (CO2 + H2O → CH2O + O2  artinya pengikatan CO2) pada coral reef sebetulnya terjadi pada simbion. Zooxanthellae berfotosintesis (tumbuhan) secara langsung dalam jaringan hidup coral mendapat keuntungan dari nutrient yang disediakan hewan coral. Sebaliknya hewan coral diuntungkan dari karbohidrat yang dihasilkan. Coral yang memiliki zooxanthellae tumbuh dan mensekresi calcium carbonate (aragonite pada scleractinian coral) Coral juga menimbun carbon, pada natural state menghasilkan padatan kapur yang disekresi. Kemampuan. dalam menimbun calsium carbonate merupakan representasi dari fungsi terumbu karang sebagai sink karbon dioksida. Selanjutnya, jika kita bandingkan konsentrasi karbon yang ada diperairan dengan konsentrasi karbon yang terkandung pada karang itu sendiri (bukan di perairan) yaitu dalam bentuk kalsium karbonat, maka dari sisi ini, menyebut karang sebagai (sink) penyerap, penyimpan, penimbun bahkan pengubur karbon sebagai sumber global warming tidak bisa dibantah lagi. Sebab, pada kenyataannya konsentrasi karbon yang ada di karang adalah 30000 kali lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi karbon yang ada di atmosfir.(Pahlano, 2008)
Terumbu karang sebagai source. Dilakukan dengan melakukan pengukuran konsentrasi karbon yang ada di perairan karang dan membandingkannya dengan konsentrasi karbon yang ada di atmosfir. Menemukan bahwa konsentrasi karbon di perairan lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi karbon di atmosfir, dan membawa pada kesimpulan bahwa perairan karang bersifat sebagai sumber pelepas karbon ke atmosfir. Pengukuran dilakukan di kolom air karena yang diukur adalah konsentrasi CO2 bukan padatan CaCO3 (kalsium karbonat) yang merupakan produk hasil kalsifikasi (Kleypas, 1999). Kalsifikasi: Ca2+ + 2HCO−3 → CaCO3 + H2O + CO2 (artinya pelepasan CO2). Hasil tersebut dipertegas melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh suatu lembaga kelautan Jepang (sekitar Agustus 2005) di lepas pantai Barat Sumatra menunjukkan nilai perbedaan tekanan parsial CO2 antara laut dan udara pada kisaran +16 sampai + 27 atm. Nilai positif menunjukkan bahwa perairan ini bersifat sebagai carbon source. (Koropitan, 2003)
Perhitungan (source-sink) karbon (terlarut-gas bukan padatan) pada ekosistem terumbu secara umum jika dihubungkan dengan peningkatan emisi CO2 menjelaskan bahwa rata-rata terumbu karang bersifat sebagai source. Namun source CO2 terumbu coral dimungkinkan diimbangi sink-penyerapan/pengikatan CO2 di hamparan lamun (seagrass) serta mangrove, 3 ekosistem yang berdekatan dan saling terikat. Walaupun belum dapat disimpulkan secara jelas peranan perairan pesisir dalam siklus karbon global, status source dan sink suatu perairan adalah alami dalam suatu siklus. Kenyataan bahwa suatu lokasi adalah source akan diimbangi oleh sink pada lokasi lainnya. Keseimbangan dalam sistem.

Referensi :
Kleypas, JA. 1999. Konsekuensi Geokimia dari Peningkatan Atmosfera Karbondioksida pada Terumbu Karang, Sains Daily, 284, 118 120

Pahlanos, 2008. Coral Reef in Crisis. www. Pahlanos Under Water. blog.com

Koropitan, AF.2003. Penyerapan Karbon di Lautan Indonesia. www. Sinar Harapan.com



1.1 Latar belakang

Kawasan pesisir dan laut Indonesia terkenal dengan tingkat keanekaragaman (biodiversity) yang amat tinggi, sehingga tidak heran jika kawasan Indobesia memiliki sebutan sebagai megabiodiversity (Dahuri, 2003). Sebutan tersebut sangat beralasan mengingat 1) Kawasan laut Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi; 2) Hampir semua jenis tanaman maupun hewan yang ada di dunia, terdapat di Indonesia; dan 3) Indonesia terletak di kawasan tropis, memiliki panjang pantai 81.000 km dan jumlah pulau 17.800 memungkinkan tingkat persebaran spesies antar wilayah sangat beragam. Kondisi tersebut memungkinkan di kawasan laut Indonesia memiliki sejumlah spesies unik, habitat serta jalur migrasi sejumlah biota laut. Salah satu biota yang menjadikan wulayah Indonesia sebagai habitat dan jalur migrasi adalah penyu laut.
Penyu laut didunia saat ini hanya ada 7 jenis, perairan Indonesia menjadi lokasi penting karena menjadi habitat bagi 6 jenis penyu laut. Penyu-penyu laut tersebar di kira-kira 140 lokasi tempat bertelur di seluruh wilayah perairan Indonesia (WWF, 2004 ). Jumlah yang terbesar adalah Penyu Hijau dan Penyu Sisik. Salah satu tempat di Indonesia yang diidentifikasi sebagai habitat dan tempat bertelur penyu hijau adalah Kondisi tersebut menunjukkan bahwasanya kawasan pesisir dan laut Indonesia merupakan habitat bagi penyu laut. Namun keberadaan penyu hijau di Indonesia terancam keberadaannya. Ancaman tersebut diantaranya berupa pemanfaatan dan kondisi lingkungan perairan laut telah menyebabkan keberadaan jenis dan populasi penyu semakin berkurang.
Kondisi ini dapat ditunjukkan dengan indicator semakin sedikitnya penyu yang mendarat untuk bertelur dan jumlah telur yang dihasilkan. Penyu hijau dewasa telah banyak ditangkap secara tidak terkendali oleh nelayan di Pulau Jemur, Propinsi Riau maupun tempat lain di Indonesia seperti di perairan Pangandaran. Pemanfaatan secara langsung telur penyu menyebabkan rendahnya regenerasi individu baru sehingga sangat signifikan mengancam kelestarian penyu hijau.
Melihat kenyataan diatas, diperlukan upaya penyelamatan terhadap keberadaan penyu laut, utamanya penyu hijau Upaya penyelamatan tersebut nantinya diharapkan mampu memnerikan perlindungan habitat, mengurangi atau menghentikan pengambilan telur serta mengurangi penangkapan penyu hijau untuk kepentingan komersial. Untuk itu diperlukan langkah-langkah pengelolaan yang sistematis dan sinergis. Pengertiannya, pengelolaan yang akan dilakukan merupakan upaya pengelolaan terencana dengan memperhatikan aspek ekologis, sosial dan ekonomi serta melalui koordinasi dari semua stakeholders baik pemerintah, dunia usaha, lembaga masyarakat, perguruan tinggi serta masyarakat setempat agar sinergi satu dengan lainnya.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengidentifikasi gangguan sebagai faktor pembatas penyebaran populasi penyu hijau (Chelonia mydas)
2. Merumuskan upaya perlindungan dan pelestarian penyu beserta habitatnya