Sunday, February 28, 2010

PENGELOLAAN PESISIR TERPADU LANJUTAN



Pengelolaan Pesisir Terpadu Lanjutan (MSP 724)
Kerangka Olsen mengelompokkan hasil-hasil pelaksanaan atau pencapaian pelaksanaan ICM. Pada kerangka tersebut terlihat bahwasanya ICM adalah suatu proses untuk menegosiasikan dan melaksanakan kebijakan publik dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan pesisir berkelanjutan.

Tabel 1.  Pencapaian, deskripsi dan Indikator  pelaksanaan ICM dalam kerangka Olsen
Pencapaian
Deskripsi
Indikator
First Order
Komitmen untuk melakukan tindakan sosial dalam merancang perencanaan
terhadap perubahan kondisi ekosistem pesisir. Komitmen tersebut berupa :
o    Pemberian mandat secara formal dalam penerapan otoritas
o    Adopsi rencana pengelolaan
o    Jaminan pendanaan
o    Keberadaan konstituen pada tingkat lokal dan nasional
1.     Konstituen yang secara aktif mendukung inisiatif ICM.
2.     Mandat resmi pemerintah untuk kewenangan dalam pelaksanaan program ICM yang penting. 
3.     Sumber daya, termasuk pendanaan yang berkelanjutan, untuk melaksanakan rencana aksi
4.     Pembangunan rencana aksi dengan kejelasan tujuan.
5.     Kapasitas kelembagaan yang diperlukan untuk melaksanakan rencana aksi.
Second Order
Bukti keberhasilan pelaksanaan program ICM, termasuk bukti dari tindakan kolaboratif antar institusi, tindakan negara-masyarakat sipil kemitraan, dan perubahan perilaku pengguna sumberdaya.

1.     Perubahan perilaku lembaga dan kelompok stakeholder;
2.     Perubahan perilaku yang secara langsung berpengaruh terhadap sumberdaya
3.     Investasi Infrastruktur
Third Order
Tahapan yang menunjukkan kesadaran dalam pemanfaatan sumberdaya sebagai manfaat dari pencapaian pelaksanaan
yang berkesinambungan dari perubahan kelembagaan dan perilaku. Hal ini ditunjukkan melalui :
o    Adanya beberapa kualitas sosial dan lingkungan mengalami pemeliharaan, pemulihan atau ditingkatkan kondisinya.
1.     Perbaikan terhadap beberapa kualitas ekosistem pesisir.(misal melalui konservasi, menghentikan penangkapan ikan secara berlebihan, pasir pertambangan karang, dan eutrofikasi.  
2.     Perbaikan dalam beberapa kualitas masyarakat (misal: kenaikan indeks kualitas hidup, seperti Human Development Index)
Fourth Order
Hasil akhir dalam pelaksanaan 4 tahapan penatakelolaan wilayah pesisir. Dimana pada tahapan ini telah tercapai keseimbangan antara kualitas sosial dan lingkungan.
1.     Keseimbangan dinamis antara kondisi sosial dan lingkungan yang ingin dicapai

Pencapaian ICM Kasus di Indonesia


[1]White et al (2005) menyebutkan terdapat beberapa lokasi pelaksanaan proyek  ICM di Indonesia yang dimulai pada tahun 1984 di Segara Anakan Cilacap. Adapun lokasi pelaksanaan ICM di Indonesia meliputi : 1) The Segara Anakan, Cilacap, Java, projects (SAP) (1984– 1992; 1996– 2004); 2) The Bunaken National Park Management Projects (BNP) (1991 - sekarang); 3) Komodo Island National Marine Park (KINMP) (1995 - sekarang); 4) Proyek Pesisir, Coastal Resource


[1] White  AT. Christie P. Agnes HD. Lowry K.  Milne N.  2005. Designing ICM projects for sustainability : Lessons from the Philippines and Indonesia. j.ocecoaman.2005.04.007

Tuesday, February 23, 2010

DAMPAK FENOMENA EL-NINO DAN LA-NINA TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOSISTEM WILAYAH PESISIR



I.  PENDAHULUAN
1.1.  Latar belakang
Indonesia terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia). Kondisi tersebut sangat mempengaruhi kondisi iklim Indonesia. Sistem cuaca dan iklim Indonesia dipengaruhi oleh kondisi lokal (seperti interaksi antar pulau), regional (seperti sistem monsoon) dan global (seperti El-Nino). Karena letaknya di antara dua samudera, maka terdapat interaksi yang kuat antara atmosfer dan lautan. Interaksi atmosfer-laut terjadi melalui inti-inti kondensasi awan yang diinjeksikan oleh percikan gelombang laut ke udara, dan melalui pelepasan panas laten kondensasi uap air ketika menjadi tetes-tetes awan. Interaksi antara atmosfer dengan lautan merupakan interaksi yang kompleks.
Atmosfer dan laut keduanya beredar dalam tiga dimensi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Interaksi antara atmosfer dan lautan melibatkan hal-hal berikut yang terkait juga dengan terjadinya anomali iklim, seperti : suhu lautan (di permukaan dan di pedalaman), tinggi permukaan laut, sirkulasi dari lautan (arus dan upwelling), suhu atmosfer (permukaan dan lapisan atas, tekanan udara di atmosfer (lapisan atas dan lapisan bawah) dan sirkulasi dari atmosfer (angin, sirkulasi Walter, dan Sirkulasi Hadley) (Chunzai and Fiedler 2006). Berkaitan dengan interaksi antara atmosfer-lautan, paling tidak ada empat faktor penyebab dominan anomali iklim yaitu: (1) anomali suhu muka laut nino 3.4, (2) arah angin, (3) beda tekanan uap air antara Darwin dan Tahiti, (4) Indian Ocean Dipole Mode (IOD). Intensitas, durasi dan frekuensi anomali iklim yang lebih dikenal dengan magnitude anomali iklim sangat dipengaruhi kapan dan seberapa besar dan banyak faktor dominan anomali iklim bekerja di wilayah tersebut. Besaran anomali iklim akan semakin besar apabila keempat faktor dominan bekerja secara simultan di wilayah yang sama pada musim hujan maupun kemarau.
Dampak langsungnya, curah hujan akan sangat tinggi (ekstrim maksimum) atau curah hujan sangat rendah (ekstrim minimum). Menariknya lagi, pengaruh faktor dominan penyebab anomali iklim terhadap suatu wilayah sangat berbeda, sehingga pemetaan pengaruhnya antar wilayah dan antar waktu merupakan pilihan yang harus dilakukan dalam adaptasi dampak anomali iklim. Hasil pemantauan fenomena anomali iklim selama ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena La-Nina dan El-Nino (Partridge dan Mansur. 2002).  Berdasarkan hasil pengamatan 10 tahun terakhir intensitas kehadiran El-Nino akan bertambah besar dari 5 tahun satu kali menjadi 2 - 3 tahun satu kali. Sehingga dapat dibayangkan, apabila intensitasnya bertambah, maka dampaknya terhadap keberlangsungan ekosistem pesisir juga bertambah.

1.2  Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa dampak terjadinya fenomena El-Nino dan La-Nina terhadap keberlangsungan ekosistem pesisir dan lautan

Wednesday, February 17, 2010

Model Penyelesaian Problem Eutrophikasi di Kawasan Pesisir (James E. Cloern)


Selama 3 dekade fokus utama arah riset pesisir yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pengayaan nutrient anthropogenic menyebabkan perubahan struktur dan fungsi dari ekosistem wilayah pesisir. Hal tersebut merupakan tema untuk riset tentang lingkungan, jadi model konseptual tentang masalah eutrophikasi secara berlanjut telah berubah. Dalam review ini, diduga pada awalnya (fase I) model konseptual lebih banyak dipengaruhi oleh limnologist, yang memulai penelitian tentang eutrophikasi di danau mulai tahun 1960-an. Tahap I dari model konseptual menggunakan perubahan input nutrien sebagai sebuah tanda dan respon dari peningkatan phytoplanton, biomassa dan produktifitas primer, dekomposisi phytoplanton menjadi bahan organik dan pengurangan oksigen dari dasar perairan. Dalam dekade ini, riset pesisir telah mengidentifikasi kunci dari perbedaan dari respon peningkatan nutrien yang terjadi di danau dan pesisir – ekosistem estuaria. Model konseptual kontemporer (fase II) merefleksikan perbedaan-perbedaan tersebut termasuk 1) Sistem - atribut spesifik yang bertindak sebagai filter untuk mengatur respon pengkayaan (sebagai pembeda utama dari tingkat sensitifitas antara estuaria dan sistem pesisir dalam pengkayaan nutrien) dan 2) rangkaian komplek dari respon langsung dan tidak langsung termasuk perubahan dalam kecerahan perairan, distribusi jaringan tanaman dan biomassa makroalga, biogeochemistry sedimen dan siklus nutrien, ratio nutrien, komposisi komunitas phytoplankton, frekuensi toksik / bahaya ledakan alga, kualitas habitat metazoa, reproduksi/pertumbuhan/kelangsungan hidup dari invertebrata pelagik dan bentik dan perubahan tak kentara seperti pergantian musim terhadap fungsi ekosistem. Tiap aspek dari model fase II diilustrasikan disini melalui contoh ekosistem pesisir di seluruh dunia. Pada bagian terakhir dalam tinjauan ini, menampilkan satu pandangan berikutnya (fase III) tahap evolusi dari model konseptual yang mengorganisasikan 5 pertanyaan sebagai pemandu dalam riset pesisir pada awal abad 21, yaitu 1) bagaimana sifat khusus sistem, memaksa atau menjelaskan respon ekosistem pesisir terhadap pengkayaan nutrien ? 2) Bagaimana kaitan pengkayaan nutrien dengan stressors (bahan beracun, penagkapan ikan, budidaya laut, nonindegenous spesies, kehilangan habitat, perubahan iklim dan pergerakan hidrologi) terhadap perubahan ekosistem pesisir ? 3) Bagaimana respon dari sejumlah stressors terkait ? 4) bagaimana pengaruh manusia, sebagai penyebab perubahan dalam ekosistem pesisir, yang berpengaruh terhadap sistem bumi sebagai habitat dari manusia dan spesies lainnya ? 5) Bagaimana sebuah pemahaman science yang mendalam tentang masalah euthrophikasi di pesisir dapat diterapkan sebagai alat untuk membangun perencanaan strategis dalam perbaikan dan merehabilitasi ekosistem ?

Kata kunci :
Eutrophikasi kawasan pesisir, pengkayaan nutrien, estuaria, nitrogen, phospor, ekosistem pesisir

Perlunya Perlindungan dan Daerah Lindungan di Wilayah Pesisir



Daerah Lindungan (Protected Areas) diadopsi dari IUCN (International Union for Conservation of Nature) adalah :
Kawasan lindung yang didefinisikan sebagai sebuah kawasan tanah dan / atau laut terutama yang didedikasikan untuk perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya dan budaya yang terkait, dikelola melalui hukum atau cara lain yang efektif.

Alasan Perlunya dilakukan perlindungan
Ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati dan nir-hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan.
Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati sebagai komponen yang terlibat dalam sistem tersebut. Karena itu untuk menjamin kelestarian sumberdaya hayati, perlu diperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung di antara komponen-komponen sumberdaya yang menyusun suatu sistem.
Semakin meningkatnya pembangunan ekonomi di kawasan pesisir, makin meningkatkan pula ancaman terhadap degradasi ekosistem  dan sumberdaya pesisir, dan laut, seperti eksploitasi lebih, degradasi habitat, penurunan keanekaragaman hayati, padahal ekosistem sumberdaya pesisir dan laut menjadi tumpuan pembangunan nasional sebagai sumber pertumbuhan baru. Karena itu, untuk mempertahankan dan melindungi keberadaan dan kualitas ekosistem serta sumberdaya pesisir dan laut yang bernilai ekologis dan ekonomis penting, diperlukan suatu perencanaan, pengelolaan yang berkelanjutan. Perlindungan terhadap ekosistem dan sumberdaya tersebut dari berbagai ancaman degradasi merupakan suatu upaya pengelolaan berkelanjutan. Wujud nyata perlindungan dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi di pesisir dan laut.
Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau Marine Sanctuary adalah suatu kawasan laut yang terdiri atas berbagai habitat, seperti terumbu karang, lamun, dan hutan bakau, dan lainnya baik sebagian atau seluruhnya, yang dikelola dan dilindungi secara hukum yang bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan, dan produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya.  Kawasan ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan, kecuali kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam).
Daerah Perlindungan Laut merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah “larang ambil”, secara permanen tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif.  Urgensi keberadaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah untuk menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut, seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan dan organisme laut lainnya, serta lebih lanjut dapat meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan.
Dengan demikian DPL diyakini sebagai salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir, yaitu dengan melindungi habitat penting di wilayah pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang.  Selain itu DPL juga penting bagi komunitas setempat sebagai salah satu cara meningkatkan produksi perikanan (terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang), memperoleh pendapatan tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari, dan pemberdayaan pada komunitas dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya mereka.
Selain itu berbagai masalah lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir Lampung seperti; pencemaran lingkungan, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, pengambilan terumbu karang, atau berbagai bentuk degradasi habitat pesisir lainnya memerlukan tindakan-tindakan yang pemulihan dan pencegahan agar tidak berdampak pada menurunnya produksi perikanan secara langsung atau tidak langsung serta menjaga kelangsungan sumber daya perikanan secara optimal dan berkelanjutan.

Faktor Penting Dalam Menentukan Daerah Lindungan, Tinjauan Aspek bio-ekologi (Agus Romadhon)



Lokasi daerah lindungan sangat menentukan keberhasilan dan tujuan dikembangkannya daerah lindungan. Untuk itu daerah lindungan harus dipilih dengan cermat, agar program konservasi kenaragaman hayati dapat  terlaksana.  Untuk itu ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam rangka pemilihan lokasi kawasan konservasi laut, yaitu calon lokasi kawasan dengan kriteria seperti berikut :
o        Daerah dengan keanekaragaman tinggi
o        Daerah dengan spesies endemis
o        Daerah dengan produktivitas tinggi
o        Daerah pemijahan ikan (termasuk organisme laut lainnya) untuk kelangsungan generasi
o        Daerah pengasuhan ikan (termasuk organisme laut lainnya)
o        Daerah persinggahan ikan-ikan peruaya (migratory spesies).

Faktor lainnya yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi kawasan konservasi laut ini adalah aktivitas komunitas atau pemanfaatan sumberdaya alam di sekitarnya. Hal ini diperhatikan, bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan sehingga perlu segera dilakukan upaya pencegahan.
Lokasi konservasi harus mampu menampung semua komponen peruntukan, mulai dari konservasi atau perlindungan, pemanfaatan dalam bidang kepariwisataan, sampai pemanfaatan untuk produksi (penangkapan dan budidaya perikanan. Karenanya calon lokasi harus dijabarkan lagi ke dalam zona-zona, seperti zona inti  atau konservasi (perlindungan terhadap kepunahan plasma nutfah), zona pemanfaatan (untuk tujuan produksi, penangkapan dan  budidaya perikanan) dan zona penyangga (lebih dimanfaatkan untuk tujuan pariwisata).
Salah satu faktor penting dalam penetapan daerah perlindungan adalah status keanekaragaman hayati. Keankeragaman hayati atau biodiversitas sendiri adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan menurut skala organisasi biologisnya, yaitu mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme serta ekosistem dan proses-proses ekologi dimana bentuk kehidupan ini merupakan bagiannya.
Jenis keanekaragaman hayati, meliputi  : a) Keanekaragaman genetik (genetic diversity); Jumlah total informasi genetik yang terkandung di dalam individu tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang mendiami bumi;                  b) Keanekaragaman spesies (species diversity); Keaneraragaman organisme hidup di bumi (diperkirakan berjumlah 5 - 50 juta), hanya 1,4 juta yang baru dipelajari; dan c) Keanekaragaman ekosistem (ecosystem diversity); Keanekaragaman habitat, komunitas biotik dan proses ekologi di biosfer.
Untuk aspek bio-ekologi dalam penetapan daerah lindungan terdapat beberapa komponen antara lain keadaan populasi, sifat interaksi, kompetisi, prey predator dan lain-lainnya.
a.       Keadaan populasi
Protected Areas adalah suatu daerah di laut yang ditetapkan untuk melestarikan sumber daya laut. Di daerahmtersebut diatur zona-zona untuk mengatur kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, perlindungan ikan, biota laut lain dan ekologinya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik. (Sumber: Committee on the Evaluation, Design, and Monitoring of Marine Reserves and Protected Areas in the United States, National Research Council 2001. Marine Protected Areas. Tools for sustaining ocean ecosystems. National Academy Press, Washington, D.C. 272 p.)
Pada prinsipnya penetapan daerah lindungan adalah melindungi dan mempertahankan segenap aspek yang terkait dalam perlindungan terhadap spesies atau biota dalam suatu ekosistem atau wilayah.  Spesies yang dilindungi pada dasarnya  merupakan spesies  yang terancam punah atau kepadatan populasi rendah sehingga perlu upaya perlindungan untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya (survive). Jika suatu spesies, kepadatan populasi menurun atau rendah, mengindikasikan bahwasanya spesies tersebut terancam kepunahan.
Populasi adalah sekelompok makhluk hidup yang sejenis mendiami tempat tertentu. Karena jumlah organisme di suatu tempat dengan tempat lain berbedabeda maka tingkat kepadatan populasi pun berbeda-beda. Kepadatan adalah hubungan antara jumlah individu dan ruang yang ditempati. Sedangkan kepadatan populasi adalah jumlah individu makhluk hidup sejenis per satuan luas tempat yang dihuni pada waktu tertentu.
Spesies terancam adalah populasi makhluk hidup (spesies atau subspesies terpisahkan evolusi) yang berada dalam risiko kepunahan karena jumlahnya sedikit, maupun terancam punah akibat perubahan kondisi alam atau hewan pemangsa.
Berbagai negara di dunia memiliki undang-undang perlindungan istimewa bagi habitat atau spesies terancam, yang berisi pelarangan perburuan, pembatasan pengembangan lahan, atau penetapan daerah cagar alam dan suaka margasatwa. Jumlah spesies yang terancam sebenarnya lebih banyak dari jumlah spesies yang didaftar dan mendapat perlindungan hukum. Di alam bebas terdapat lebih banyak lagi spesies yang lebih dulu punah sebelum sempat dicatat, atau berpotensi menjadi musnah tanpa pernah berhasil mendapatkan perhatian manusia.
Laju kepunahan spesies sepanjang 150 tahun belakangan ini sangat memprihatinkan. Spesies mengalami evolusi dan punah secara alami sejak ratusan juta tahun yang lalu, tapi laju kepunahan belakangan ini jauh lebih tinggi dari laju kepunahan rata-rata pada skala evolusi planet Bumi. Laju kepunahan saat ini adalah 10 hingga 100 kali lipat laju kepunahan alami. Bila tingkat laju kepunahan berlanjut atau terus meningkat, jumlah spesies yang menjadi punah dalam dekade berikut bisa berjumlah jutaan. Sebagian besar orang hanya berpikir hanya spesies mamalia berukuran besar dan burung yang terancam kepunahan, tapi sebenarnya kestabilan seluruh ekosistem menjadi terganggu dengan punahnya spesies kunci pada salah satu rantai makanan.
Status konservasi dari suatu spesies terancam adalah indikator kemungkinan spesies ini bisa terus bertahan hidup. Penetapan status konservasi bukan hanya berdasar jumlah populasi yang tersisa, melainkan juga peningkatan atau penurunan jumlah populasi dalam periode tertentu, laju sukses penangkaran, ancaman yang diketahui, dan sebagainya.  Status konservasi yang paling dikenal di seluruh dunia adalah IUCN Red List. Menurut IUCN, Indonesia memiliki 3.682 spesies fauna. Dari jumlah itu, 701 digolongkan sebagai spesies terancam, yang terdiri atas 63 spesies berstatus kritis, 157 terancam, dan 481 dikualifikasikan rentan kepunahan. Adapun sisanya boleh dikatakan berisiko rendah
Kategori Terancam akan Kepunahan dalam IUCN Red List berada di antara kategori Sangat Terancam akan Kepunahan dan Rentan.  Beberapa kategori IUCN adalah sebagai berikut :
        Punah (EX): individu terakhir dari sebuah spesies sudah mati, atau sudah mati berdasarkan asumsi yang tidak bisa diragukan lagi, misalnya: Harimau Tasmania, Dodo, dan Merpati penumpang.
        Punah di alam liar (EW): populasi di alam bebas tidak ada lagi, dan hanya bisa ditemui di penangkaran, misalnya: burung Alagoas Curassow.
        Sangat terancam kepunahan atau Kritis (CR): spesies menghadapi risiko tinggi kepunahan di waktu dekat, misalnya: Harimau Sumatra, Badak Jawa, Jalak Bali, Arwana Asia.
        Terancam atau Endangered (EN): spesies yang menghadapi risiko kepunahan sangat tinggi di waktu mendatang, misalnya: Orang utan, Banteng, Anoa, Macan Tutul Salju.
        Rentan (VU): spesies menghadapi risiko tinggi kepunahan di masa depan, misalnya: Cheetah, Seladang, Babirusa.
        Risiko Rendah (LC): ancaman langsung bagi kelangsungan hidup spesies tidak ada, misalnya: Ayam hutan, Macan Tutul.

b.       Sifat interaksi
Interaksi biologis hasil dari kenyataan bahwa organisme dalam ekosistem berinteraksi satu sama lain, di alam dunia, tidak ada organisme merupakan badan otonom terisolasi dari sekitarnya. Organiisme adalah bagian dari lingkungan hidup, kaya dalam hidup dan tidak hidup semua unsur yang berinteraksi satu sama lain dalam beberapa mode. Suatu organisme dari interaksi dengan lingkungan yang mendasar terhadap organisme yang hidup dan fungsi ekosistem secara keseluruhan. Tanda-mediated interaksi molekul yang berfungsi sebagai tanda-tanda yang khas fitur interaksi komunikatif.
Dalam ekologi, biologi adalah hubungan interaksi antara dua spesies dalam suatu ekosistem. Hubungan ini dapat dikategorikan ke dalam berbagai kelas berdasarkan interaksi baik pada efek atau pada mekanisme interaksi. Interaksi antara dua jenis ini sangat beragam aspek serta durasi dan kekuatan. Spesies mungkin bertemu sekali dalam satu generasi (misalnya penyerbukan) atau tinggal sepenuhnya dalam waktu lain (misalnya endosymbiosis). Mungkin berbagai efek dari satu jenis makanan yang lain (predation), untuk saling menguntungkan (hidup bersama).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwasanya terdapat beberapa  interaksi yang dapat menyebabkan perlunya dilakukan perlindungan terhadap ekosistem atau spesies. Interaksi tersebut berupa : Pemangsaan. Kompetisi dan Grazers

        Pemangsaan
Pemangsaan merupakan bentuk interaksi antar dua spesies yang mengakibatkan salah satu spesies menjadi sarana pemenuhan kebutuhan hidup spesies yang memangsa.  Pemangsaan ini dalam kondisi rantai makanan yang seimbang tidak akan mengakibatkan gangguan terhadap berjalannya proses-proses dalam ekosistem. Aturannya jumlah pemangsa yang berada pada level atas piramida makanan, berjumlah lebih sedikit dibandingkan dengan populasi spesies yang dimangsa (level bawah piramida). Namun jika keberadaan atau populasi pemangsa lebih banyak dapat dipastikan spesies yang menjadi mangsa , keberadaannya akan terancam punah. Selanjutnya, jika keberadaan stok makanan berkurang, keberadaan pemangsa akan berkurang pula.
Penetapan daerah lindung pada kondisi tersebut diperlukan untuk mengembalikan kembali kondisi piramida makanan. Hal yang dapat dilakukan adalah melalui pengurangan populasi pemangsa  melalui relokasi pemangsa ke tempat lain sehingga memberikan kesempatan kepada populasi spesies yang dimangsa untuk pulih.

        Kompetisi
Kompetisi antar spesies banyak disebabkan karena keterbatasan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk bertahan hidup (air, makanan, udara dan wilayah). Hal ini dapat menyebabkan salah satu spesies yang tidak dapat bertahan akan punah atau populasi akan berkurang.
Daerah perlindungan dalam hal ini diperlukan untuk menjaga keberlangsungan komponen penunjang kehidupan biota dengan menjaga kemampuan lingkungan untuk menyediakan kebutuhan hidup biota  melalui pengaturan kepadatan populasi spesies dan menjaga segenap bentuk pengerusakan yang menyebabkan penurunan daya lingkungan.
Lebih lanjut, interaksi antara dua spesies tidak perlu melalui kontak langsung. Karena sifat yang terhubung ekosistem, spesies tersebut dapat saling mempengaruhi melalui perantara berbagi sumber daya  atau musuh alami. Persyaratan yang secara eksplisit menunjukkan kualitas keuntungan atau kerugian dalam hal kondisi yang dialami oleh komponen dalam interaksi. Tingkat keuntungan atau kerugian yang berkepanjangan dan tidak, mempunyai ciri-ciri, antara lain bahwa interaksi mungkin berbahaya melalui kematian, misalnya. Penting untuk dicatat bahwa interaksi tidak selalu statis. Dalam banyak kasus, dua spesies akan berinteraksi dengan cara yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda. Hal ini benar, tetapi tidak terbatas pada, kasus di mana ada beberapa jenis, tahap kehidupan yang berbeda secara drastis.
Para ahli ekologi telah mengetahui bahwa tidak semua species mempunyai kemungkinan yang sama untuk menjadi punah. Kerentanan species terhadap kepunahan umumnya ditentukan oleh salah satu karakter :
        Species dengan sebaran geografis sempit, umumnya rentan terhadap kerusakan habitat oleh kegiatan manusia;
        Species yang terdiri dari satu atau sedikit populasi akan sangat rentan terhadap kerusakan habitat dibandingkan dengan species yang terdiri dari banyak populasi;
         Species yang memiliki ukuran populasi yang kecil akan mudah punah akibat pengaruh variasi demografis dan lingkungan serta hilangnya keragaman genetik bila dibandingkan dengan species yang berukuran populasi yang besar;
        Species yang ukuran populasinya cendrung menurun akan mudah punah bilamana  penyebab penurunan tidak dapat diketahui dan diperbaiki;
        Species yang memiliki densitas rendah per satuan luas, terutama pada kawasan yang terfragmentasi akan mudah mengalami kepunahan;
        Species yang memerlukan wilayah jelajah yang luas akan sangat rentan terhadap kepunahan bilamana wilayah jelajahnya dirusak atau mengalami fragmentasi;
        Species (terutama satwa) yang memiliki ukuran tubuh yang besar akan memiliki wilayah jelajah yang luas serta makanan yang lebih banyak secara indvidu, serta rentan untuk diburu maupun dirusak wilayah jelajahnya maupun habitat untuk mencari makan minumnya;
        Species yang tidak memiliki kemampuan menyebar yang baik di alam akan sangat rentan terhadap perubahan atau perusakan habitat, karena species tersebut tidak mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi;
        Species yang bermigrasi musiman akan sangat rentan terhadap perusakan habitat karena karena ketidak mampuan bertahan di habitatnya;
        Species dengan keanekargaman genetik yang rendah akan lebih banyak kemungkinan punah karena penyakit, atau perubahan lingkungan;
        Species yang memiliki relung tertentu akan rentan terhadap kepunahan apabila relung yang menjadi habitatnya rusak atau diubah manusia;
        Species yang hanya dijumpai pada lingkungan yang stabil, akan rentan kepunahan bilamana lingkungannya diubah/dirusak karena ketidak mampuan mengembangkan populasinya setelah terjadi perubahan lingkungan/habitat;
        Species yang membentuk kelompok secara tetap atau sementara akan sangat rentan apabila ukuran populasi menurun dibawah jumlah tertentu;
Karakteristik tersebut umumnya di alam tidak berdiri sendiri namun cenderung merupakan suatu kombinasi yang saling terkait. Oleh karena itu upaya konservasi atau pengelolaan keanekaragaman hayati dan kerabat liar tanaman  budidaya hanya akan dapat dilakukan secara baik, apabila kita mampu mengenali karakteristik dari species yang mudah punah serta mengantisipasi keperluan untuk dapat mengatur populasi species yang rentan tersebut.

        Grazing
Grazing organisme juga dapat membunuh mereka spesies mangsa, tetapi ini jarang terjadi. Sementara beberapa herbivores seperti zooplankton tinggal di unicellular phytoplankton dan tidak memiliki pilihan tetapi untuk membunuh mangsa mereka, banyak makan hanya bagian kecil dari tanaman. Grazing ternak Mei tarik beberapa rumput di akar, tetapi kebanyakan hanya grazed atas, memungkinkan untuk tanaman regrow sekali lagi. Kelp sering subtidal kelp grazed di hutan, tetapi di regrows dasar blade terus berupaya untuk browsing dengan tekanan. Binatang juga dapat 'grazed' atas; perempuan mosquitos tanah di alam sebentar untuk mendapatkan cukup protein untuk perkembangan anak mereka. Starfish mungkin pada grazed, yang mampu regenerating kehilangan lengan

c.       Kompetisi
Kompetisi dapat didefinisikan sebagai interaksi antara organisme atau spesies, di mana kebugaran rendah adalah salah satu oleh kehadiran orang lain. Keterbatasan pasokan sedikitnya satu sumber daya (seperti makanan, air, dan daerah) yang digunakan oleh keduanya diperlukan. Kompetisi baik di dalam dan antar spesies merupakan topik penting dalam ekologi, khususnya ekologi komunitas. Kompetisi adalah salah satu dari banyak interaksi faktor biotic dan abiotic yang mempengaruhi struktur komunitas. Kompetisi antar anggota spesies yang sama dikenal sebagai intraspecific kompetisi, sementara kompetisi di antara individu-individu dari berbagai spesies ini dikenal sebagai interspecific kompetisi. Persaingan yang tidak selalu mudah, dan dapat terjadi di kedua yang langsung dan tidak langsung fashion.
Sesuai dengan prinsip pengecualian kompetitif, spesies kurang cocok untuk bersaing untuk sumber daya baik harus menyesuaikan diri atau punah. Menurut teori evolusi, dalam kompetisi ini antara spesies dan sumber daya untuk memutar peran penting dalam seleksi alam. Kompetisi dapat dibdakan menjadi 2 macam, yaitu kompetisi melalui mekanisme dan oleh spesies

        Melalui mekanisme
Persyaratan sebagai berikut menjelaskan mekanisme oleh persaingan yang terjadi, yang secara umum dapat dibedakan menjadi langsung dan tidak langsung. Mekanisme ini berlaku untuk intraspecific dan interspecific kompetisi.
-          Gangguan kompetisi
Terjadi secara langsung antara individu melalui agresi dan lainnya ketika individu dengan makan, hidup, reproduksi orang lain, atau langsung mencegah pembentukan fisik mereka di bagian habitat.
-          Eksploitasi kompetisi
Terjadi langsung melalui umum sehingga sumber daya yang bertindak sebagai intermediate. Sebagai contoh penggunaan sumber daya depletes jumlah yang tersedia untuk orang lain, atau ruang untuk bersaing.
-          Nyata persaingan
Langsung terjadi antara dua jenis yang kedua setelah preyed oleh predator yang sama. Misalnya, spesies A dan B adalah spesies preys baik untuk predator C. Peningkatan spesies A akan menyebabkan penurunan spesies B karena kenaikan Seperti akan meningkatkan jumlah predator Cs yang pada gilirannya akan berburu beberapa jenis B
        Oleh spesies
Kompetisi oleh spesies dibagi menjadi 2 macam, yaitu intraspesific kompetisi dan interspesific kompetisi
Intraspecific kompetisi terjadi ketika anggota spesies yang sama untuk bertanding sumber yang sama dalam suatu ekosistem. Misalnya, dua pohon tumbuh saling berdekatan akan bersaing untuk lampu di atas tanah, dan air dan gizi di tanah. Oleh karena itu, kurang mendapatkan sumber daya, biasanya mereka akan melakukan lebih baik daripada jika mereka tumbuh dengan sendirinya. Adaptasi kepada lingkungan termasuk tumbuh lebih tinggi (khususnya di hutan), atau pengembangan yang lebih besar Root sistem
Interspecific kompetisi dapat terjadi ketika individu dari dua spesies berbagi membatasi sumber daya di daerah yang sama. Jika sumber daya tidak dapat mendukung kedua populasi, kemudian menurunkan kesuburan, pertumbuhan, hidup atau dapat menyebabkan setidaknya satu spesies. Interspecific kompetisi memiliki potensi untuk merubah komunitas, komunitas dan evolusi dari jenis interaksi.

d.      Prey predator
Dalam ekologi, predation menjelaskan interaksi biologi di mana predator (sebuah organisme yang berburu) memakan mangsa, maka organisme yang menyerang. predator mungkin atau tidak membunuh mereka mangsa sebelum makanan ada pada mereka, tetapi perbuatan predation selalu menghasilkan kematian yang mangsa. lainnya kategori utama konsumsi adalah detritivory, konsumsi bahan organik yang mati (detritus). Dapat sewaktu-waktu akan sulit untuk memisahkan dua perilaku makan , misalnya di mana parasit spesies mangsa pada host dan organisme kemudian bertelur pada keturunan mereka untuk memberi makan pada pembusukan mayat. Tombol karakteristik predation Namun adalah predator dari dampak langsung terhadap populasi mangsa. Di sisi lain, detritivores hanya makan apa yang tersedia dan tidak memiliki dampak langsung terhadap "donor" organisme
Tekanan selektif dikenakan pada satu sama lain telah menyebabkan sebuah evolusi perlombaan senjata antara mangsa dan predator, sehingga berbagai antipredator adaptasi. Adaptasi Antipredator telah berkembang dalam populasi mangsa yang selektif karena tekanan dari predation lebih lama dari waktu.
Predator merupakan pertimbangan penting dalam hal-hal yang berkaitan dengan konservasi. Diperkenalkan predato rmungkin  membuktikan terlalu banyak bagi komunitas yang belum mengenal dengan baik. Ini akan sangat tergantung pada seberapa baik spesies mangsa yang dapat beradaptasi dengan spesies yang baru, dan apakah atau tidak bisa berbelok ke predator alternatif sumber makanan ketika populasi mangsa jatuh ke tingkat minimal. Jika predator dapat menggunakan alternatif mangsa gantinya, mungkin diet yang beralih ke arah yang spesies dalam perilaku yang dikenal sebagai respons fungsional, sementara masih makan terakhir sisa mangsa organisme. Di sisi lain spesies mangsa yang mungkin dapat bertahan hidup jika predator tidak memiliki alternatif mangsa - dalam hal ini tentu komunitasnya akan menurun mengikuti penurunan mangsa, sehingga sebagian kecil buas untuk bertahan hidup. Pengenalan alternatif mangsa mungkin juga mengakibatkan kepunahan.
Predator yang sering spesies terancam punah itu sendiri, terutama apex predator yang sering kali dalam persaingan dengan manusia. Kompetisi untuk mangsa dari jenis lainnya dapat membuktikan akhir predator - jika mereka niche ekologis yang tumpang tindih sepenuhnya dengan orang lain yang kompetitif pengecualian prinsip hanya memerlukan satu dapat bertahan hidup. Hilangnya spesies mangsa dapat mengakibatkan coextinction predator. Selain itu, karena predator yang ditemukan di tingkat trophic tinggi, menyebabkan predator memiliki kerentanan yang tinggi.