Sangat disayangkan. Itulah kalimat yang tepat dalam menggambarkan kepedulian segenap stakeholder lokal (masyarakat, "peneliti" dan pemangku kebijakan) terkait dengan besarnya potensi pulau-pulau kecil, mangrove dan wisata yang ada di Madura, khususnya Kabupaten Sumenep. Betapa tidak, ekosistem pulau kecil dan mangrove tersebut merupakan sebuah entitas yang merupakan keunggulan kompatif dan kompetitif , tidak hanya di Madura tetapi juga di Jawa Timur. Betapa tidak, data yang diperoleh dari DKP Jawa Timur 2008) menyebutkan pulau-pulau kecil yang ada di Madura sebagai yang terbesar jumlahnya di Jawa Timur (125 pulau kecil). Tidak hanya itu, terdapat 26 jenis mangrove langka berdasarkan red list IUCN ditemukan di Pulau Sepanjang, salah satu pulau kecil di gugus Pulau Sapeken (Suharjono dan Rugayah, 2007). Fakta tersebut hanya sebagian kecil, kenyataan yang menunjukkan betapa penting dan menariknya kedua ekosistem tersebut. Kondisi tersebut sangat ironis, jika dilihat dari kecilnya minat dari stakeholder lokal, untuk memanfaatkan kedua ekosistem tersebut, berupa pengembangan wisata dan lokasi penelitian. Sampai saat ini kajian ilmiah terkait dengan kondisi ekologi, sosial dan ekonomi kedua ekosistem tersebut banyak dilakukan oleh ITS, UNAIR dan Univ. Brawijaya. Padahal di Madura sendiri, Univ. Trunojoyo sebagai perguruan tinggi memiliki ahli-ahli (belum pakar) di bidang kelautan. Namun anehnya, kompetensi jurusan ilmu kelautan yang ada di Univ. Trunojoyo tidak mengacu pada keunggulan resources based tersebut, disaat universitas besar lainnya berlomba-lomba untuk mengkaji segenap potensi pulau kecil di Madura.